Senin, 29 Februari 2016

Khalifah Ini Nangis Ketakutan Karena Nasehat Sang Ulama

MetrominiNews - Matahari sudah condong ke barat. Sesaat lagi malam akan menyelimuti siang. Tetapi entah mengapa, sore itu terasa panas bagi Khalifah Harun ar-Rasyid. Nampak tergesa ia keluar dari istananya, menemui Fudhail bin Rabi’, seorang  bawahan terdekatnya yang biasa dipanggil Abu Abbas. “Hatiku gundah. Tunjukkan padaku orang yang bisa menenteramkannya,” ujar sang Khalifah.

Fudhail bin Rabi’ segera mempertemukan sang Khalifah dengan Sufyan bin Uyainah dan Abdullah ar-Razzaq bin Humam, dua ulama terkenal kala itu. Sang Khalifah sempat membantu keduanya melunasi utang masing-masing. Namun, Harun ar-Rasyid masih merasa belum puas. ”Hatiku belum tenteram. Tunjukkan lagi orang yang bisa kumintai bantuan,” ujar Harun ar-Rasyid.

“Kita temui Fudhail bin lyyadh,” jawab Fudhail bin Rabi’.

Beberapa saat kemudian, keduanya sudah tiba di depan pintu rumah Fudhail bin Iyyadh. Saat itu, sang ulama sedang membaca al-Qur’an. “Rasanya aku tak punya urusan dengan Amirul Mukminin,” terdengar suara agak keras dari dalam rumah begitu Harun ar-Rasyid mengucapkan salam dan memperkenalkan diri.

Abu Abbas menyambung, “Maha Suci Allah, apakah engkau tidak taat pada pemimpin?”

Fudhail bin lyyadh lantas turun dan membukakan pintu. Lalu ia kembali ke kamarnya, memadamkan lampu, dan duduk di pojok ruangan yang gelap. Harun ar-Rasyid dan Abu Abbas segera masuk sambil mencari-cari pegangan di ruangan yang gelap itu. Rupanya Harun ar-Rasyid lebih dulu menggapai tangan Fudhail bin lyyadh. Seketika ia berkata, “Wahai orang yang lembut tangannya, semoga kelak engkau selamat dari siksa Allah. Terimalah apa yang aku antarkan untukmu ini. Semoga Allah mengasihimu.”

“Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, ia menganggap jabatan sebagaibala’. Ia pernah mengundang Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka’ab, dan Raja’ bin Haywah, lalu meminta nasihat dari mereka,” papar Fudhail bin Iyyadh. Ia pun memaparkan beberapa nasihat tiga tokoh itu pada Harun ar-Rasyid.

Setelah berkata panjang lebar, Fudhail bin lyyadh melanjutkan ucapannya, “Begitulah Umar bin Abdul Aziz. Sedang engkau menganggap khilafah sebagai nikmat. Sekarang aku berkata kepadamu wahai Khalifah Harun ar-Rasyid, ‘Aku sangat mencemaskanmu kelak, ketika tapak-tapak kaki manusia tergelincir darishirathal mustaqim. Sudahkah ada orang yang menasihatimu tentang hal itu?’

Harun ar-Rasyid menangis sejadi-jadinya. Mukanya ditutup dengan kedua tangan. Setelah tangisnya agak reda, Harun ar-Rasyid berkata, “Teruskan nasihatmu.”

“Wahai Amirul Mukminin, seorang pegawai Umar bin Abdul Aziz pernah diadukan kepadanya. Umar bin Abdul Aziz segera mengiriminya surat yang berbunyi, ‘Saudaraku, ingatlah betapa lamanya penghuni neraka di neraka. Takutlah akan murka Allah. Jika murka itu datang, putuslah semua harapan,’”

Setelah membaca surat itu, si pegawai meninggalkan jabatannya. Sampai Umar bin Abdul Aziz datang dan menanyakan kenapa ia tinggalkan jabatan itu. “Aku tergugah oleh suratmu. Sejak itu aku tidak mau lagi memegang jabatan sampai Allah memutuskan ajalku,” jawab pegawai itu.

Harun ar-Rasyid kembali menangis. Dengan suara parau ia paksakan berkata, “Tambahkan nasihatmu, Fudhail.”

“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Abbas, paman Rasululah pernah datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasululah, berilah aku jabatan.’

Rasulullah saw menjawab, ‘Sekiranya engkau bisa untuk tidak jadi pejabat, lakukanlah’.”

Harun ar-Rasyid menangis lagi. Semakin lama semakin keras. Tak lama kemudian dengan terbata-bata ia berkata, “Tambahkan nasihatmu, aku berdoa semoga Allah mengasihimu.”

“Wahai Amirul Mukminin, engkau memiliki wajah tampan. Tentu di akhirat nanti engkau akan meminta kepada Allah wajah yang tampan. Maka, jika engkau mampu menjaga wajah ini dari api neraka, lakukanlah.”

Mendengar itu, Harun ar-Rasyid tak kuasa menahan tangisnya. Air matanya deras bercucuran. Dan isak tangisnya tinggal satu dua ketika kemudian ia bertanya, “Apakah engkau punya utang?”

“Benar, aku punya utang kepada Rabbku. Dia akan menghisabku atas utang itu. Celakalah aku jika Dia tidak menghiraukan permohonanku,” sahut Fudhail.

Kembali air mata Harun ar-Rasyid meleleh. “Ini ada seribu dinar, ambillah untuk menafkahi keluargamu dan untuk memperlancar ibadahmu.”

Fudhail bin lyyadh segera menyahut, “Maha Suci Allah, aku telah menunjukkan kepadamu jalan kebaikan dan keselamatan. Tetapi rupanya engkau hendak membalasku seperti ini. Semoga Allah memberimu petunjuk.”

Dengan segala cara, Harun ar-Rasyid membujuk Fudhail agar menerima pemberiannya. Namun Fudhail hanya duduk diam di tengah pintu rumahnya. Tiba-tiba seorang budak perempuan keluar dari dalam seraya berseru, “Sebaiknya kalian segera pergi. Sejak tadi kalian telah menyusahkan tuan saya ini.”

Khalifah Harun ar-Rasyid, penguasa Abbasiyah yang beristana di Baghdad itu pun pergi. Apa yang mengganjal di hatinya telah teraduk-aduk menjadi berbagai rasa yang berkecamuk. Obat hati yang sejak tadi dicari telah ia dapatkan.

Paling tidak, ada dua pelajaran menarik dari penggalan kisah perjalanan hidup Khalifah Kelima Daulat Abbasiyah ini. Pertama, sifat rendah hatinya yang mau menyambangi ulama. Sifat ini ini tak banyak dimiliki para penguasa sekarang. Sedikit di antara mereka yang mau meminta pendapat dari para ulama. Ketika hati mereka gundah, mempunyai banyak masalah, obat yang dicari bukan dari ulama, tapi tempat-tempat hiburan berbau maksiat.

Kalau pun ada di antara para penguasa yang mau meminta pendapat, orang yang dicari adalah ulama yang sependapat dengan mereka. Biasanya, mereka tidak mendatangi ulama, tapi memanggilnya. Sang ulama pun akan tergopoh-gopoh memenuhi panggilan para penguasa. Padahal, sebaik-baik penguasa adalah yang mendatangi ulama. Dan, seburuk-buruk ulama adalah yang mendatangi penguasa.

Kedua, keberanian ulama menasihati penguasa. Hal ini tercermin dari sikap Fudhail bin Iyyadh. Tabiin yang wafat pada 687 H ini tak sungkan-sungkan memberikan nasihat. Ironisnya, sikap seperti ini semakin langka. Mereka yang dikenal sebagai ulama justru lebih banyak yang takluk di bawah titah para penguasa. Akibatnya, beragam penyelewengan seolah mendapat restu dan semakin meluas. Kalau ini terus dibiarkan, jangan berharap keterpurukan akan berakhir.  (/voai)

Nasehat dan Renungan Untuk Pelaku LGBT

MetrominiNews - Nasihat dan Renungan untuk Para LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Allah SWT berfirman :

وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُالْمُجْرِمِينَ

�� “Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” [Al-A’raf: 84]

Lalu disampaikan juga oleh Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari rahimahullah dengan berkata,

وكانت فاحشتهم التي كانوا يأتونها، التي عاقبهم الله عليها، إتيان الذكور

“Kekejian yang mereka lakukan, yang menyebabkan Allah menghukum mereka adalah melakukan hubungan sesama lelaki.” [Tafsit Ath-Thobari, 12/547]

Kemudian Allah SWT Tegaskan :

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَالظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” [Hud: 82-83]

  • Juga diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah:
وَقَوْلُهُ: {وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍأَيْوَمَا هَذِهِ النِّقْمَةُ مِمَّنْ تَشَبَّه بِهِمْ فِي ظُلْمِهِمْ، بِبَعِيدٍ عَنْهُ

�� “Firman Allah ta’ala, 'Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim' maknanya: Tiadalah siksaan itu jauh dari orang-orang yang MENYERUPAI mereka dalam kezaliman mereka tersebut.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/342]

  • Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
ولما كانت مفسدة اللواط من أعظم المفاسد، كانت عقوبته في الدنيا والآخرة من أعظم العقوبات

"Ketika mafsadat perbuatan hubungan sejenis itu termasuk sebesar-besarnya mafsadat maka hukumannya di dunia dan akhirat juga termasuk sebesar-besarnya hukuman." [Al-Jawaabul Kaafi, hal. 260]

➡ Apa Hukuman Bagi Mereka di Dunia yang Wajib Ditegakkan Pemerintah?
  • Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وَقَدْ وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ الْمَرْوِيِّ فِي السُّنَنِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا "مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعَمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُواالْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ".

وَذَهَبَ الْإِمَامُ الشَّافِعِيُّ فِي قَوْلٍ عَنْهُ وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّ اللَّائِطَ يُقْتَلُ، سَوَاءٌ كَانَ مُحْصَنًا أَوْ غَيْرَ مُحْصَنٍ،عَمَلًا بِهَذَا الْحَدِيثِ.

وَذَهَبَ الْإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ إِلَى أَنَّهُ يُلْقَى مِنْ شَاهِقٍ، ويُتبَع بِالْحِجَارَةِ، كَمَا فُعِلَ اللَّهُ بِقَوْمِ لُوطٍ، وَاللَّهُسُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

�� “Dan telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunnah dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda),

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعَمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

�� “Siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya.”
Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i dalam satu pendapat yang diriwayatkan dari beliau dan sekelompok ulama (mazhab lainnya) bahwa pelaku hubungan sejenis harus dihukum mati (oleh Pemerintah), sama saja sudah pernah menikah atau belum, sebagai pengamalan terhadap hadits ini.

Adapun Mazhab Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah hukumannya adalah dilempar dari tempat yang tinggi lalu disusul dengan lemparan batu, sebagaimana yang Allah lakukan kepada kaum Luth. Wallaahu subhanahu wa ta’ala a’lam bish showaab.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/342]

Bahkan hukuman mati terhadap pelaku hubungan sejenis adalah kesepakatan seluruh sahabat Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وأما اللواط فمن العلماء من يقول : حده كحد الزنا ، وقد قيل دون ذلك . والصحيح الذي اتفقت عليه الصحابة : أن يقتل الاثنان الأعلى والأسفل . سواء كانا محصنين ، أو غير محصنين . فإن أهل السنن رووا عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط ، فاقتلوا الفاعل والمفعول به)

�� "Adapun hubungan sejenis (homoseks) maka diantara para ulama ada yang berpendapat hukumannya sama dengan zina, ada juga yang berpendapat selain itu. Namun pendapat yang benar serta disepakati oleh para sahabat adalah hukuman mati bagi kedua pelakunya, sama saja apakah keduanya sudah menikah atau belum. Karena para penyusun kitab sunnah telah meriwayatlan dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma, dari Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعَمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

'Siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya'. [As-Siyaasah Asy-Syar'iyyah, hal. 138]
  • Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
وَأَطْبَقَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَتْلِهِ، لَمْ يَخْتَلِفْ مِنْهُمْ فِيهِ رَجُلَانِ، وَإِنَّمَا اخْتَلَفَتْ أَقْوَالُهُمْ فِي صِفَةِ قَتْلِهِ، فَظَنَّ النَّاسُ أَنَّ ذَلِكَ اخْتِلَافًا مِنْهُمْ فِي قَتْلِهِ، فَحَكَاهَا مَسْأَلَةَ نِزَاعٍ بَيْنَ الصَّحَابَةِ، وَهِيَ بَيْنَهُمْ مَسْأَلَةُ إِجْمَاعٍ لَا مَسْأَلَةُ نِزَاعٍ.

“Para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menerapkan hukuman mati atas pelaku hubungan sejenis, tidak ada dua orang sahabat yang berbeda pendapat dalam permasalahan ini, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang cara membunuhnya, lalu sebagian orang mengira bahwa para sahabat berbeda pendapat dalam permasalahan hukuman mati atas pelakunya, kemudian mereka menukilnya sebagai permasalahan khilaf di antara sahabat, padahal permasalahannya adalah ijma’ (kesepakatan) sahabat bukan permasalahan khilaf.” [Al-Jawaabul Kaafi, hal. 170]

Maka jelaslah bahwa para sahabat, sebaik-baik generasi umat ini, pemimpin para wali Allah, yang dibina langsung oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang paling mengerti hukum-hukum Islam, seluruhnya sepakat bahwa perbuatan itu hukumnya haram dan pelakunya harus diberikan hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Akan tetapi yang berhak memberi hukuman adalah Pemerintah, bukan masyarakat.

➡ Apa Kewajiban Kita Apabila Sahabat Telah Sepakat?

Allah 'azza wa jalla berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْمَصِيرًا
 “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [An-Nisa: 115]

  • Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,
وقد استدل بهذه الآية الكريمة على أن إجماع هذه الأمة حجة وأنها معصومة من الخطأ. ووجه ذلك: أن الله توعد من خالف سبيل المؤمنين بالخذلان والنار، و {سبيل المؤمنين} مفرد مضاف يشمل سائر ما المؤمنون عليه من العقائد والأعمال. فإذا اتفقوا على إيجاب شيء أو استحبابه، أو تحريمه أو كراهته، أو إباحته – فهذا سبيلهم، فمن خالفهم في شيء من ذلك بعد انعقاد إجماعهم عليه، فقد اتبع غير سبيلهم.

“Dalam ayat yang mulia ini terdapat pendalilan bahwa ijma’ umat ini adalah hujjah, dan bahwa ia maksum (terjaga) dari kesalahan.

➡ Sisi pendalilannya: Bahwa Allah telah mengancam siapa yang menyelisihi jalan kaum mukminin dengan ancaman kehinaan dan neraka.

�� Dan jalan kaum mukminin dalam ayat ini dalam bentuk mufrod mudhof (satu kata yang disandarkan) sehingga maknanya mencakup seluruh keyakinan dan amalan kaum mukminin, apabila mereka telah sepakat untuk mewajibkan sesuatu, atau mensunnahkannya, atau mengharamkannya, atau memakruhkannya, atau membolehkannya maka itulah jalan mereka, barangsiapa menyelisihi satu perkara saja setelah terjadinya ijma’ maka ia telah mengikuti selain jalannya kaum mukminin.” [Taisirul Kaarimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan, hal. 202]

✅ Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَجْمَعُ أُمَّتِى عَلَى ضَلاَلَةٍ

“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan umatku bersepakat di atas kesesatan.” [HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Shahihul Jami’: 1848, Mukhtashor Al-I’lam bi Akhiri Ahkamil Albani Al-Imam: 305]

  • Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
إذا اجتمعوا أخذنا باجتماعهم ، وإن قال واحدهم ولم يخالفه غيره أخذنا بقوله ، فإن اختلفوا أخذنا بقول بعضهمولم نخرج من أقاويلهم كلهم

“Apabila mereka (sahabat) bersepakat maka kita ambil kesepakatan mereka, dan jika salah seorang dari mereka berpendapat dan tidak diselisihi oleh yang lainnya maka kita ambil pendapatnya. Apabila mereka berbeda pendapat maka kita tetap mengambil pendapat sebagian dari mereka, dan kita tidak boleh keluar dari seluruh pendapat mereka.” [Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubro lil Baihaqi: 21]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم


══════ ❁✿❁ ══════

Yakinlah Kejayaan Islam Pasti Akan Datang !


MetrominiNews - Jika menyinggung dan menceritakan kondisi umat Islam belakangan ini, sungguh menjadikan hati kita tersayat. Betapa penderitaan berkepanjangan yang menderanya tak kunjung berakhir. Musibah demi musibah datang silih berganti, cobaan demi cobaan yang menyelimutinya tak kunjung lepas.

Namun yang perlu kita sadari bersama bahwa kaum selain kita juga merasakan kesulitan yang sama. Hanya saja obyek perasaan derita kita berbeda dengan yang mereka rasakan. Kesulitan kita adalah betapa beratnya mempertahankan konsisten (Iltizam), keteguhan (tsabat), kesabaran, istiqamah, dalam menjalankan syariat Islam di tengah-tengah gegap gempitanya manusia yang berkonspirasi memarjinalkan peran Allah dalam kehidupan ini.

Sedangkan kesulitan kaum kafir dan munafikin adalah mempertahankan status quo kebatilan di tengah maraknya kebangkitan umat Islam. Mereka bersusah payah menyebarkan propaganda kebencian terhadap dakwah Islam. Bahkan tak segan mereka menuduh ayat-ayat al-Qur`an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai hate speech (ujaran kebencian), ayat-ayat provokasi dan lain sebagainya.

Namun, di tengah itu fenomena kesadaran beragama para mahasiswa, kaum intelektual, kaum perkotaan semakin mengeliat. Mereka berusaha secara maksimal untuk membendung gejala kesadaran kembali kepada Islam. Nampaknya kebangkitan Islam itu tidak bisa di redam dan diredupkan. Usaha para pembenci dakwah Islam hanya sia-sia belaka.

“Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang orng beriman).” (QS Al Fath ayat 29).

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya walaupun orang-orang kafir tidak menyukai (QS At Taubah ayat 32-33).

“Telah nampak kebencian pada mulut mulut mereka, dan apa yang disimpan di dada mereka lebih besar.” (QS Ali Imran : 118).

Tidak kita saja yang menderita kesulitan, mereka juga merasakan keadaan serupa dalam menghadapi banyaknya kaum terpelajar, bangsa bangsa di negara maju ingin kembali kepada ajaran yang sesuai dengan fitrah mereka. Setelah mereka lari dari agama (non-Islam) karena di persepsikan menghambat kemajuan berfikir.

Kejayaan Dipergilirkan

Terjadilah kebebasan yag tak terkendali, sains dan teknologi yang menjadi sarana kehidupan pada kehidupan globalisasi sebagai produk paham kebendaan, terbukti gagal dalam memandu manusia modern menemukan kebahagiaan hidup. Mereka kembali kepada aliran eksitensialisme (hati nurani) tetapi hati nurani seseorang di pengaruhi oleh lingkungan pendidikan, pergaulan, persepsi, kebiasaan yang berbeda-beda.
Sementara kejayaan yang kita peroleh adalah kemenangan sejati. Kemenangan yang mencerahkan, menampakan cahaya kebenaran. Sebab kejayaan orang kafir itu tidak mendapatkan arahan, bimbingan dan petunjuk dari Allah. Sedangkan kejayaan umat Islam memperoleh restu dari Allah. Kejayaan kaum muslimin terjadi ketika kita menyaksikan kembalinya kekuasaan Allah di dunia ini. Secara de jure dan de facto (secara syar’i dan kauni)."
Kita juga merasakan kesulitan dalam mendesain kehidupan ini hanya untuk mencari ridha Allah, saat dimana kebanyakan manusia ingin mencari keridhaan, restu kepada selain Allah. Oleh karena itu, pada bagian ayat berikutnya Allah memberikan hiburan kepada kaum muslimin.

“Demikian hari hari itu kami pergilirkan diantara manusia (agar memperoleh pelajaran) dan supaya Allah membedakan orang orang yang beriman (dengan orang orng kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikanya (gugur sebagai) Syuhada, Allah tidak menyukai orang yang dzalim.” (QS Ali Imran ayat140).

Terkadang, kaum beriman itu sedang naik di atas pada masa keemasanya, dan menduduki posisi strategis.  Adakalanya jatuh terpuruk, dan kaum kafir berjaya di dunia ini. Tentu kejayaan yang diraih selain kita adalah kejayaan semu.

Sementara kejayaan yang kita peroleh adalah kemenangan sejati. Kemenangan yang mencerahkan, menampakan cahaya kebenaran. Sebab kejayaan orang kafir itu tidak mendapatkan arahan, bimbingan dan petunjuk dari Allah. Sedangkan kejayaan umat Islam memperoleh restu dari Allah. Kejayaan kaum muslimin terjadi ketika kita menyaksikan kembalinya kekuasaan Allah di dunia ini. Secara de jure dan de facto (secara syar’i dan kauni)

Fiqih pergiliran dan perguliran zaman adalah sebuah kenyataan sejarah kehidupan manusia yang patut kita jadikan renungan secara mendalam. Timbul tengelamnya bangsa di muka bumi ini memiliki maksud sepesifik di mata Allah. Agar ia mengetahui siapa diantara kita yang benar benar beriman dan diambil sebagian komunitas itu sebagai syuhada.

“Barang siapa yang memperhatikan uma- umat sepanjang sejarah maka ia akan mendapatkan pelajaran bahwa obor peradaban berpindah dari bangsa satu ke bangsa lain, dari satu tangan ke tangan lain. Sesunguhnya perputaran saat ini adalah milik kita. Bukan melawan kita,” kata Hasan al Banna.

Barat memegang kendali kepemimpinan dunia, akan tetapi ia tidak amanah. Bahkan mengalami kebangkrutan norma, melampaui keadilan, mementingkan kekuatan dari kebenaran, materi atas rohani, benda atas manusia. Merupakan keajaran bila obor peradaban harus berpindah ke tangan lain.

Kesadaran kita terhadap prinsip mendasar (mabda asasi) ini harus melekat dalam totalitas kepribadian kita sebagai sosok Muslim, sosok yang memposisikan diri sebagai bagian dari elemen perubah. Supaya sedikit pun kita berpikir untuk memilih alternatif lain selain solusi dari Allah. Kalaupun orang lain tidak tahan, tidak sabar, kurang teguh menatapi tabiat perjalanan dakwah ini tidak mengurangi stamina fisik dan maknawiyah kita?

Kemenangan umat Islam pasti akan datang, cepat ataupun lambat. Karena tidak akan pernah terjadi kiamat sebelum berdiri khilafah di atas manhaj nubuwah.

Teruslah berjuang untuk menegakan kalimat Allah dan jangan pernah mundur meski hanya selangkah. Karena perjuangan kita akan menghasilkan sebuah keindahan di akhir hayat kita. Insya Allah. Wallahu ‘alam bish shawab. (/voai)