MetrominiNews - Matahari sudah condong ke barat. Sesaat lagi malam akan menyelimuti siang. Tetapi entah mengapa, sore itu terasa panas bagi Khalifah Harun ar-Rasyid. Nampak tergesa ia keluar dari istananya, menemui Fudhail bin Rabi’, seorang bawahan terdekatnya yang biasa dipanggil Abu Abbas. “Hatiku gundah. Tunjukkan padaku orang yang bisa menenteramkannya,” ujar sang Khalifah.
Fudhail bin Rabi’ segera mempertemukan sang Khalifah dengan Sufyan bin Uyainah dan Abdullah ar-Razzaq bin Humam, dua ulama terkenal kala itu. Sang Khalifah sempat membantu keduanya melunasi utang masing-masing. Namun, Harun ar-Rasyid masih merasa belum puas. ”Hatiku belum tenteram. Tunjukkan lagi orang yang bisa kumintai bantuan,” ujar Harun ar-Rasyid.
“Kita temui Fudhail bin lyyadh,” jawab Fudhail bin Rabi’.
Beberapa saat kemudian, keduanya sudah tiba di depan pintu rumah Fudhail bin Iyyadh. Saat itu, sang ulama sedang membaca al-Qur’an. “Rasanya aku tak punya urusan dengan Amirul Mukminin,” terdengar suara agak keras dari dalam rumah begitu Harun ar-Rasyid mengucapkan salam dan memperkenalkan diri.
Abu Abbas menyambung, “Maha Suci Allah, apakah engkau tidak taat pada pemimpin?”
Fudhail bin lyyadh lantas turun dan membukakan pintu. Lalu ia kembali ke kamarnya, memadamkan lampu, dan duduk di pojok ruangan yang gelap. Harun ar-Rasyid dan Abu Abbas segera masuk sambil mencari-cari pegangan di ruangan yang gelap itu. Rupanya Harun ar-Rasyid lebih dulu menggapai tangan Fudhail bin lyyadh. Seketika ia berkata, “Wahai orang yang lembut tangannya, semoga kelak engkau selamat dari siksa Allah. Terimalah apa yang aku antarkan untukmu ini. Semoga Allah mengasihimu.”
“Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, ia menganggap jabatan sebagaibala’. Ia pernah mengundang Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka’ab, dan Raja’ bin Haywah, lalu meminta nasihat dari mereka,” papar Fudhail bin Iyyadh. Ia pun memaparkan beberapa nasihat tiga tokoh itu pada Harun ar-Rasyid.
Setelah berkata panjang lebar, Fudhail bin lyyadh melanjutkan ucapannya, “Begitulah Umar bin Abdul Aziz. Sedang engkau menganggap khilafah sebagai nikmat. Sekarang aku berkata kepadamu wahai Khalifah Harun ar-Rasyid, ‘Aku sangat mencemaskanmu kelak, ketika tapak-tapak kaki manusia tergelincir darishirathal mustaqim. Sudahkah ada orang yang menasihatimu tentang hal itu?’
Harun ar-Rasyid menangis sejadi-jadinya. Mukanya ditutup dengan kedua tangan. Setelah tangisnya agak reda, Harun ar-Rasyid berkata, “Teruskan nasihatmu.”
“Wahai Amirul Mukminin, seorang pegawai Umar bin Abdul Aziz pernah diadukan kepadanya. Umar bin Abdul Aziz segera mengiriminya surat yang berbunyi, ‘Saudaraku, ingatlah betapa lamanya penghuni neraka di neraka. Takutlah akan murka Allah. Jika murka itu datang, putuslah semua harapan,’”
Setelah membaca surat itu, si pegawai meninggalkan jabatannya. Sampai Umar bin Abdul Aziz datang dan menanyakan kenapa ia tinggalkan jabatan itu. “Aku tergugah oleh suratmu. Sejak itu aku tidak mau lagi memegang jabatan sampai Allah memutuskan ajalku,” jawab pegawai itu.
Harun ar-Rasyid kembali menangis. Dengan suara parau ia paksakan berkata, “Tambahkan nasihatmu, Fudhail.”
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Abbas, paman Rasululah pernah datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasululah, berilah aku jabatan.’
Rasulullah saw menjawab, ‘Sekiranya engkau bisa untuk tidak jadi pejabat, lakukanlah’.”
Harun ar-Rasyid menangis lagi. Semakin lama semakin keras. Tak lama kemudian dengan terbata-bata ia berkata, “Tambahkan nasihatmu, aku berdoa semoga Allah mengasihimu.”
“Wahai Amirul Mukminin, engkau memiliki wajah tampan. Tentu di akhirat nanti engkau akan meminta kepada Allah wajah yang tampan. Maka, jika engkau mampu menjaga wajah ini dari api neraka, lakukanlah.”
Mendengar itu, Harun ar-Rasyid tak kuasa menahan tangisnya. Air matanya deras bercucuran. Dan isak tangisnya tinggal satu dua ketika kemudian ia bertanya, “Apakah engkau punya utang?”
“Benar, aku punya utang kepada Rabbku. Dia akan menghisabku atas utang itu. Celakalah aku jika Dia tidak menghiraukan permohonanku,” sahut Fudhail.
Kembali air mata Harun ar-Rasyid meleleh. “Ini ada seribu dinar, ambillah untuk menafkahi keluargamu dan untuk memperlancar ibadahmu.”
Fudhail bin lyyadh segera menyahut, “Maha Suci Allah, aku telah menunjukkan kepadamu jalan kebaikan dan keselamatan. Tetapi rupanya engkau hendak membalasku seperti ini. Semoga Allah memberimu petunjuk.”
Dengan segala cara, Harun ar-Rasyid membujuk Fudhail agar menerima pemberiannya. Namun Fudhail hanya duduk diam di tengah pintu rumahnya. Tiba-tiba seorang budak perempuan keluar dari dalam seraya berseru, “Sebaiknya kalian segera pergi. Sejak tadi kalian telah menyusahkan tuan saya ini.”
Khalifah Harun ar-Rasyid, penguasa Abbasiyah yang beristana di Baghdad itu pun pergi. Apa yang mengganjal di hatinya telah teraduk-aduk menjadi berbagai rasa yang berkecamuk. Obat hati yang sejak tadi dicari telah ia dapatkan.
Paling tidak, ada dua pelajaran menarik dari penggalan kisah perjalanan hidup Khalifah Kelima Daulat Abbasiyah ini. Pertama, sifat rendah hatinya yang mau menyambangi ulama. Sifat ini ini tak banyak dimiliki para penguasa sekarang. Sedikit di antara mereka yang mau meminta pendapat dari para ulama. Ketika hati mereka gundah, mempunyai banyak masalah, obat yang dicari bukan dari ulama, tapi tempat-tempat hiburan berbau maksiat.
Kalau pun ada di antara para penguasa yang mau meminta pendapat, orang yang dicari adalah ulama yang sependapat dengan mereka. Biasanya, mereka tidak mendatangi ulama, tapi memanggilnya. Sang ulama pun akan tergopoh-gopoh memenuhi panggilan para penguasa. Padahal, sebaik-baik penguasa adalah yang mendatangi ulama. Dan, seburuk-buruk ulama adalah yang mendatangi penguasa.
Kedua, keberanian ulama menasihati penguasa. Hal ini tercermin dari sikap Fudhail bin Iyyadh. Tabiin yang wafat pada 687 H ini tak sungkan-sungkan memberikan nasihat. Ironisnya, sikap seperti ini semakin langka. Mereka yang dikenal sebagai ulama justru lebih banyak yang takluk di bawah titah para penguasa. Akibatnya, beragam penyelewengan seolah mendapat restu dan semakin meluas. Kalau ini terus dibiarkan, jangan berharap keterpurukan akan berakhir. (/voai)
Fudhail bin Rabi’ segera mempertemukan sang Khalifah dengan Sufyan bin Uyainah dan Abdullah ar-Razzaq bin Humam, dua ulama terkenal kala itu. Sang Khalifah sempat membantu keduanya melunasi utang masing-masing. Namun, Harun ar-Rasyid masih merasa belum puas. ”Hatiku belum tenteram. Tunjukkan lagi orang yang bisa kumintai bantuan,” ujar Harun ar-Rasyid.
“Kita temui Fudhail bin lyyadh,” jawab Fudhail bin Rabi’.
Beberapa saat kemudian, keduanya sudah tiba di depan pintu rumah Fudhail bin Iyyadh. Saat itu, sang ulama sedang membaca al-Qur’an. “Rasanya aku tak punya urusan dengan Amirul Mukminin,” terdengar suara agak keras dari dalam rumah begitu Harun ar-Rasyid mengucapkan salam dan memperkenalkan diri.
Abu Abbas menyambung, “Maha Suci Allah, apakah engkau tidak taat pada pemimpin?”
Fudhail bin lyyadh lantas turun dan membukakan pintu. Lalu ia kembali ke kamarnya, memadamkan lampu, dan duduk di pojok ruangan yang gelap. Harun ar-Rasyid dan Abu Abbas segera masuk sambil mencari-cari pegangan di ruangan yang gelap itu. Rupanya Harun ar-Rasyid lebih dulu menggapai tangan Fudhail bin lyyadh. Seketika ia berkata, “Wahai orang yang lembut tangannya, semoga kelak engkau selamat dari siksa Allah. Terimalah apa yang aku antarkan untukmu ini. Semoga Allah mengasihimu.”
“Ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, ia menganggap jabatan sebagaibala’. Ia pernah mengundang Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka’ab, dan Raja’ bin Haywah, lalu meminta nasihat dari mereka,” papar Fudhail bin Iyyadh. Ia pun memaparkan beberapa nasihat tiga tokoh itu pada Harun ar-Rasyid.
Setelah berkata panjang lebar, Fudhail bin lyyadh melanjutkan ucapannya, “Begitulah Umar bin Abdul Aziz. Sedang engkau menganggap khilafah sebagai nikmat. Sekarang aku berkata kepadamu wahai Khalifah Harun ar-Rasyid, ‘Aku sangat mencemaskanmu kelak, ketika tapak-tapak kaki manusia tergelincir darishirathal mustaqim. Sudahkah ada orang yang menasihatimu tentang hal itu?’
Harun ar-Rasyid menangis sejadi-jadinya. Mukanya ditutup dengan kedua tangan. Setelah tangisnya agak reda, Harun ar-Rasyid berkata, “Teruskan nasihatmu.”
“Wahai Amirul Mukminin, seorang pegawai Umar bin Abdul Aziz pernah diadukan kepadanya. Umar bin Abdul Aziz segera mengiriminya surat yang berbunyi, ‘Saudaraku, ingatlah betapa lamanya penghuni neraka di neraka. Takutlah akan murka Allah. Jika murka itu datang, putuslah semua harapan,’”
Setelah membaca surat itu, si pegawai meninggalkan jabatannya. Sampai Umar bin Abdul Aziz datang dan menanyakan kenapa ia tinggalkan jabatan itu. “Aku tergugah oleh suratmu. Sejak itu aku tidak mau lagi memegang jabatan sampai Allah memutuskan ajalku,” jawab pegawai itu.
Harun ar-Rasyid kembali menangis. Dengan suara parau ia paksakan berkata, “Tambahkan nasihatmu, Fudhail.”
“Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Abbas, paman Rasululah pernah datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasululah, berilah aku jabatan.’
Rasulullah saw menjawab, ‘Sekiranya engkau bisa untuk tidak jadi pejabat, lakukanlah’.”
Harun ar-Rasyid menangis lagi. Semakin lama semakin keras. Tak lama kemudian dengan terbata-bata ia berkata, “Tambahkan nasihatmu, aku berdoa semoga Allah mengasihimu.”
“Wahai Amirul Mukminin, engkau memiliki wajah tampan. Tentu di akhirat nanti engkau akan meminta kepada Allah wajah yang tampan. Maka, jika engkau mampu menjaga wajah ini dari api neraka, lakukanlah.”
Mendengar itu, Harun ar-Rasyid tak kuasa menahan tangisnya. Air matanya deras bercucuran. Dan isak tangisnya tinggal satu dua ketika kemudian ia bertanya, “Apakah engkau punya utang?”
“Benar, aku punya utang kepada Rabbku. Dia akan menghisabku atas utang itu. Celakalah aku jika Dia tidak menghiraukan permohonanku,” sahut Fudhail.
Kembali air mata Harun ar-Rasyid meleleh. “Ini ada seribu dinar, ambillah untuk menafkahi keluargamu dan untuk memperlancar ibadahmu.”
Fudhail bin lyyadh segera menyahut, “Maha Suci Allah, aku telah menunjukkan kepadamu jalan kebaikan dan keselamatan. Tetapi rupanya engkau hendak membalasku seperti ini. Semoga Allah memberimu petunjuk.”
Dengan segala cara, Harun ar-Rasyid membujuk Fudhail agar menerima pemberiannya. Namun Fudhail hanya duduk diam di tengah pintu rumahnya. Tiba-tiba seorang budak perempuan keluar dari dalam seraya berseru, “Sebaiknya kalian segera pergi. Sejak tadi kalian telah menyusahkan tuan saya ini.”
Khalifah Harun ar-Rasyid, penguasa Abbasiyah yang beristana di Baghdad itu pun pergi. Apa yang mengganjal di hatinya telah teraduk-aduk menjadi berbagai rasa yang berkecamuk. Obat hati yang sejak tadi dicari telah ia dapatkan.
Paling tidak, ada dua pelajaran menarik dari penggalan kisah perjalanan hidup Khalifah Kelima Daulat Abbasiyah ini. Pertama, sifat rendah hatinya yang mau menyambangi ulama. Sifat ini ini tak banyak dimiliki para penguasa sekarang. Sedikit di antara mereka yang mau meminta pendapat dari para ulama. Ketika hati mereka gundah, mempunyai banyak masalah, obat yang dicari bukan dari ulama, tapi tempat-tempat hiburan berbau maksiat.
Kalau pun ada di antara para penguasa yang mau meminta pendapat, orang yang dicari adalah ulama yang sependapat dengan mereka. Biasanya, mereka tidak mendatangi ulama, tapi memanggilnya. Sang ulama pun akan tergopoh-gopoh memenuhi panggilan para penguasa. Padahal, sebaik-baik penguasa adalah yang mendatangi ulama. Dan, seburuk-buruk ulama adalah yang mendatangi penguasa.
Kedua, keberanian ulama menasihati penguasa. Hal ini tercermin dari sikap Fudhail bin Iyyadh. Tabiin yang wafat pada 687 H ini tak sungkan-sungkan memberikan nasihat. Ironisnya, sikap seperti ini semakin langka. Mereka yang dikenal sebagai ulama justru lebih banyak yang takluk di bawah titah para penguasa. Akibatnya, beragam penyelewengan seolah mendapat restu dan semakin meluas. Kalau ini terus dibiarkan, jangan berharap keterpurukan akan berakhir. (/voai)